Sabtu, 13 Juni 2015

Agama itu Nasehat

Agama itu Nasehat
A.      Hadis pertama
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ[رواه مسلم]
Dari Abu Ruqayyah (Tamiim) bin Aus Addary r.a.berkata: “Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Agama itu adalah Nasehat, Kami bertanya: Untuk Siapa?, jawab Nabi: Bagi Allah dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya dan pemimpin- pemimpin serta kaum muslimin pada umumnya”. [HR. Muslim].[1]
1.      Biografi Singkat Perawi Hadits:
Perawi hadits ini,  Abu Ruqayyah Tamim bin Aus bin Kharijah. Ia dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Dar. Dikatakan Ad-Dairi nisbat kepada Dair sebelum datangnya agama islam. Sebelum memeluk islam, ia beragama Nasrani dan tidak ada disebutkan nama Daari atau Dairi di dalam Kitab Shahihain dan Al-Muwaththa’, kecuali Tamiim. Ia masuk islam pada tahun ke sembilan Hijriyah. Ia mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam hingga subuh menjelang. Ia tinggal di Madinah, lalu pindah ke Syam. Ia meriwayatkan dari Nabi SAW. tentang kisah bertemunya dengan al-jassaasah dan jaddal yang ia alami sendiri. Kisah ini termasuk kisah yang diriwayatkan oleh sahabat senior dari sahabat junior.[2] Tamim ad-Dâri adalah orang yang pertama kali memasang lampu di dalam masjid dan membacakan kisah-kisah. Ini dilakukan pada zaman pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu'anhu. Beliau meriwayatkan delapan belas hadits dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini, yang mana dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan. Beliau wafat di Palestina pada tahun 40 H.[3]
2.         Asbab Wurud Hadits
Pada masa Rasulullah terdapat satu kafilah yang mempunyai kebiasaan yang buruk, ketika umat islam berjihat bersama Rasulullah kafilah tersebut sering datang terlambat dan jika ditanya selalu beralasan, sehingga banyak kaum muslim yang lain menamakan mereka kaum munafiq. Mereka sering kali diberi nasihat oleh kafilah yang lain, tetapi tak pernah menghiraukan dan terus berulang.
Ketika Rasulullah mengetahui hal itu, beliau langsung memberikan nasihat kepada kafilah tersebut dengan kalimat  اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. Beliau menjelaskan bahwa ajaran agama adalah berisi nasihat, sehingga apapun yang kita perbuat selalu berpandanglah pada ajaran agama.[4]
3.      Penjelasan dalam Hadist
Hadist ini sangat agung dan para ulama berkomentar,” Hadist ini adalah salah satu empat hadist yang menjadi prinsip agama Islam. An-Nawawi berkata,’’ Tidak seperti yang mereka sebutkan, akan tetapi hadist ini merupakan poros tempat beredarnya kaidah-kaidah agama Islam.”
Al-Khaththabi berkata,” Nasehat adalah kata yang mengandung makna yang cukup komplek. Artinya, memberikan keberuntungan kepada orang yang diberi nasehat. Beliau memberitahukan bahwa agama ini seluruhnya adalah nasehat karena nasehatlah yang menjadi tiang dan pilar agama.”[5]
النَّصِيْحَةُ (Nasehat), adalah suatu kalimat yang mengekspresikan keinginan baik untuk pihak yang dinasihati.Secara etimologis, kata النُّصْحُ  (bentuk dasarnya) berarti : bersih. Maka ungkapan نَصَحْتُ الْعَسَلَ , berarti : aku bersihkan madu dari lilin dan aku murnikan dari campurannya. Ada yang berpendapat , kata النَّصِيْحَةُ  di ambil dari ungkapan نَصَحُ الرَّجُلُ ثَوْ بَهُ إِذَاخَاطَهُ    seseorang (penjahit) merapikan pakaian saat menjahit. Artinya, perilaku sang pemberi nasihat menyangkut apa yang dinasihatkan kepada pihak yang dinasehati, disamakan dengan memperbaiki pakaian.[6]
Nasihat itu bagi Allah SWT., maksudnya nasihat bagi agama-Nya dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta membenarkan apa yang disampaikan-Nya melalui Al-Qur’an dan As-sunnah, kembali dan bertawakal kepadanya, serta hal-hal lain yang merupakan syiar islam dan syariatnya.[7] Al-Khaththabi berkata,” Semua nasehat ini akan bermanfaat untuk diri hamba itu sendiri. Karena Allah tidak membutuhkan nasehat makhluk-Nya.”[8]
Nasihat bagi kitab-Nya berarti beriman kepada kalam Allah, bahwa ia meliputi pemberitaan yang benar dan hukum-hukum yang adil, serta kisah-kisah yang bermanfaat. Selain itu, dia juga wajib menjadikannya sebagai sumber hukum dalam semua hal.
Nasihat bagi Rasulullah SAW., maksudnya adalah beriman kepadanya bahwa beliau adalah Rasul Allah kepada seluruh manusia. Termasuk di dalamnya mencintai, meneladani, membenarkan apa yang disampaikannya, melaksanakan semua perintahnya, dan menjauh semua larangan serta membela agamanya.[9]
أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ (pemimpin-pemimpin kaum Muslimin). Yakni para penguasa mereka.[10] Sementara yang dimaksud dengan nasihat bagi para pemimpin umat islam adalah penjelasan tentang kebenaran, tidak ada saling mengganggu, dan bersabar atas apa yang dialaminya, saling menolong, serta bekerja sama dalam hal-hal yang harus dikerjakan secara kolektif.[11]
Al-Khaththabi berkata,” Di antara bentuk nasehat terhadap pemimpin kaum muslimin adalah shalat di belakang mereka dan jihad bersama mereka.”
Sebab-sebab kebaikan dari masing-masing pembagian ini terlalu banyak dan mungkin dibatasi. Ada pendapat yang mengatakan: “jika dimaksud pemimpin umat Islam di sini adalah para ulama, maka cara menasehati mereka adalah dengan menerima fatwa mereka, menghormati, dan menjadikan mereka sebagai panutan. Pemimpin yang dimaksud dalam hadist mencakup penguasa dan ulama, karena sebutan pemimpin yang sebenarnya ditujukan kepada penguasa dan ulama.[12]
عَامَّتِهِمْ (Umat Islam pada umumnya), yaitu seluruh kaum Muslimin selain penguasa.[13]  Nasehat bagi kaum muslimin secara keseluruhan, maksudnya bahwa agama adalah nasehat bagi mereka, dengan berdakwah ke jalan Allah, menyuruh kepada kebaikan, mencegah kemunkaran, mengajarkan kebaikan, dan semacamnya. Karena itu, agama adalah nasehat dan orang yang pertama kali masuk ke dalam golongan yang diberikan nasehat secara umum adalah kaum muslimin, atau dari orang ke orang.[14] Tamim Ad-Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasehat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa Arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasehat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al-Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.[15] Hadist ini juga menunjukkan tentang diharamkannya menipu. Karena apabila yang dimaksud nasehat adalah agama, maka tipuan merupakan lawan dari nasehat, dan ini tentu bertentangan dengan agama. Rasulullah SAW.  bersabda,” Siapa yang menipu, ia bukan termasuk golongan kami.”[16]
4.      Pelajaran yang Terkandung Dalam Hadist
a.       Kewajiban kaum Muslimin untuk memberi nasehat karena ia merupakan tiang dan penopang agama. Nasehat itu sendiri bisa dilakukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keimanan yang benar dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Bisa juga kepada Kitabullah, yaitu dengan membenarkannya, senantiasa membacanya, mengamalkan hukum-hukumnya, dan tidak mengubahnya. Nasehat juga dilakukan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan membenarkan kerasulannya, menaati perintahnya, berpegang teguh kepada sunnah dan syari’atnya. Sementara nasehat terhadap para penguasa kaum Muslimin adalah dengan membantu mereka melakukan kebenaran, taat kepada mereka di luar kemaksiatan, meluruskan penyimpangan mereka dengan baik, tidak melakukan pemberontakan kepada mereka kecuali jika tampak sesuatu yang mengindikasikan kekufuran mereka. Juga nasehat kepada individu dan masyarakat Muslim, yaitu dengan membimbing mereka kepada sesuatu yang membuahkan kebaikan bagi mereka, baik di dunia maupun akhirat, menyuruh mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.
b.      Dengan demikian kita dapat melihat bahwa hadist ini merupakan dasar yang sangat agung di dalam Islam, yang menghimpun semua bentuk kebaikan. Karenanya, Ulama berkata: “ Dalam hadist inilah, terkanung poros Islam.”
B.  Hadist kedua
حَدِيْثُ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قاَلَ بَايَعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ, فَلَقَّنَنِىْ فِيْمَا اِسْتَطَعْتُ, وَالنُصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ.
اَخْرَجَهُ الْبُخَارِىْ فِى: ٩٣- كِتَابُ اْلاَحْكَامِ: ٤٣ بَابِ كَيْفَ يُبَا يِعُ الْامَامُ الْنَاسُ.
Artinya :
            “Hadis  Jarir bin Abdullah dimana ia berkata : “Saya berba’iat (berjanji setia) kepada Nabi saw. untuk selalu mendengar dan taat, kemudian beliau menuntun kepadaku (untuk mengucapkan)” sesuai dengan kemampuanku”, dan nasehat terhadap setiap muslim.
            Al-Bukhari mentakhrijkan hadist ini dalam “kitab hukum” bab tentang bagaimana iman (pemimpin) membai’at orang-orang.
1.      Biografi Perawi
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahku. Setelah Ayahku terbunuh, aku selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H.[17]
2.      Penjelasan dalam hadist
Hadist di atas menerangkan tentang keharusan seorang muslim selalu berjanji setia untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasehat kepada siapapun yang memerlukannya. Sebab pada hakikatnya agama adalah nasehat, baik bagi pemimpin kaum muslimin maupun bagi rakyat jelata. Hanya dengan melaksanakan perintah agama secara baik sajalah seseorang akan dapat meraih kebahagiaan hakiki didunia dan akhirat.[18]

3.      Pelajaran yang dapat di terkandung dalam Hadist
a.       Pentingnya nasehat dan saling menasehati di antara kaum Muslimin, sehingga bai’at untuk selalu memberikan nasehat.
Dalam konteks inilah, para sahabat memberikan bai’atnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Dan ia telah memenuhi apa yang pernah ia di ikrarkan kepada Allah Subhanahu’ wa Ta’ala melalui bai’at, sebagaimana sudah menjadi tradisi dikalangan para sahabat, kaum Mukminin dan shiddiqin.
C.  Hadist Ketiga

عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ للهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. متفق عليه.
1.      Biografi Perawi
2.      Penjelasan dalam Hadist
لاَيُؤْمِنُ (Tidak beriman). Yakni tidak beriman secara sempurna.               لأَخِيْهِ(Untuk saudaranya). Yakni untuk setiap Muslim    مَايُحِبُّ(Sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri), berupa kebaikan.[19] Hadist ini telah mencakup segala maksud tujuan yang baik dari rencana sosialisme dengan menghindari segala kejahatan-kejahatan mereka, sebab hadis ini memulai perbaikan dan hak persamaan dari dalam jiwa, karena mengerti benar-benar bahwa semua amal perbuatan yang tidak terdorong oleh kebaikan dalam jiwa, pasti akan sia-sia dan gagal serta membahayakan akibatnya. Sebaliknya sesuatu yang memang terdorong oleh kebaikan jiwa, pasti akan berhasil baik. Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah ummat Islam di masa keemasannya. Sengaja oleh Rasulullah sifat ini dimasukkan dalam kesempurnaan iman, sebab iman itu merupakan kesadaran, kesadaran tentang kejadian diri sendiri dan kedudukan dalam pergaulan masyarakat bersama.
Karena itu Islam mengajarkan supaya tidak berhari raya sebelum mengeluarkan zakat fitrah untuk fakir miskin, atau jangan berhari raya sebelum menyediakan kurban ud-hiyahnya. [20]
3.      Pelajaran yang terkandung dalam hadist
a.       Sesungguhnya syarat bagi iman yang sempurna adalah merasa suka jika kaum Muslimin mendapatkan apa yang disukainya untuk dirinya berupa berbagai kebaikan dan ketaatan, dan berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikannya.
b.      Salah satu hal yang diperlukan itu adalah memberi nasehat kepada mereka dan membimbing mereka kepada sesuatu yang bermanfaat bagi mereka.[21]
Ibnu Baththal berkata, ”Hadist ini menunjukkan bahwa nasehat juga disebutkan sebagai din dan islam. Din disebutkan untuk amalan dan perkataan.” Ia juga berkata, “ Nasehat itu hukumnya fardhu Kifayah, jika ada orang yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban tersebut. Dan nasehat itu merupakan suatu keharusan yang disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing individu. Jika seseorang mengetahui bahwa nasehatnya akan diterima, perintahnya akan dipatuhi dan dirinya aman dari hal-hal yang tidak ia inginkan maka ia harus memberikan nasehatnya. Akan tetapi, jika ia khawatir akan disakiti, maka ia boleh memilih antara menasehati atau tidak.[22]



















































[1] Salim Bahreisy, Tarjamah Riadhus Shalihin,  jilid 1, (Bandung : Al-Ma’arif, 1981), h. 193.

[2]Muhammad bin Ismail Al-Amir  Ash-Shan’ani,  Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 3,  diterjem. oleh Ali Nur Medan, Darwis dan Ghana’im, (Jakarta : Darus Sunnah, 2009), h.974.
[4] md.nashihin , Agama adalah Nasihat http://md-nashihin.blogspot.com/2012/05/agama-adalah-nasihat.html, diakses, selasa 26/3/2013,  jam 14.55.

[5] Muhammad bin Ismail Al-Amir  Ash-Shan’ani,  Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 3,  diterjem  oleh Ali Nur Medan, Darwis dan Ghana’im,  Loc.Cit.

[6] Mushthafa Al- Bugha,  Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi di lengkapi Takhrij Hadist, diterjem. Oleh Ibnu Sunarto, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2005), h.  394.

[7] Imam An-Nawawi, Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Pensyarah : Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- Utsaimin, diterjem. Oleh Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Embun Litera, 2010), h.59.

[8] Muhammad bin Ismail Al-Amir  Ash-Shan’ani,  Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 3,  diterjem  oleh Ali Nur Medan, Darwis dan Ghana’im, Op.Cit., h. 975.

[9]  Imam An-Nawawi, Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Pensyarah : Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- Utsaimin, diterjem. Oleh Muhyiddin Mas Rida,  Op.Cit., h. 59-60.
                                                                     
[10] Mushthafa Al- Bugha, Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi di lengkapi Takhrij Hadist, diterjem. Oleh Ibnu Sunarto, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2005),  Loc.Cit.

[11] Imam An-Nawawi,  Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Pensyarah : Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- Utsaimin, diterjem. Oleh Muhyiddin Mas Rida,  Op.Cit., h. 60.
[12] Muhammad bin Ismail Al-Amir  Ash-Shan’ani,  Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 3,  diterjem .oleh Ali Nur Medan, Darwis dan Ghana’im , Op.Cit., h. 975-976.

[13] Mushthafa Al- Bugha, Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi di lengkapi Takhrij Hadist, diterjem. Oleh Ibnu Sunarto, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Loc.Cit.

[14]  Imam An-Nawawi, Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Pensyarah : Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- Utsaimin, diterjem. Oleh Muhyiddin Mas Rida, Op.Cit., h.60.

[15]Abdul Hay Al-Farmawy, Agama Adalah Nasihat, http://hadielislam.com/indo/index-40-hadits-pilihan-nawawi/hadits/786-07-agama-adalah-nasihat.html, diakses, senin, 25/3/2013, jam 13.50.

[16]  Imam An-Nawawi, Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Pensyarah : Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- Utsaimin, diterjem. Oleh Muhyiddin Mas Rida, Op.Cit., h. 61.
[17] Ibnu GhufronPara Ulama Ahlul Hadis,http://percikkisahsahabat.blogspot.com/2012/01/ jarir-bin-abdullah-al-bajali-ra.html, diakses, minggu 31/3/2013, jam 14.23.

[18] Muhammad Fuad Abdul Baqi, AL-Lu’lu’ wal marjan 1, cet 2,  diterjem.  oleh Sholeh Bahannan dan Ghafur Saub, (Jakarta : Pustaka As-Sunnah, 2010),  h.76.
[19] Mushthafa Al- Bugha, Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi di lengkapi Takhrij Hadist, diterjem. Oleh Ibnu Sunarto, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Op.Cit., h. 396.

[20] Salim Bahreisy, Tarjamah Riadhus Shalihin,  jilid 1, Op.Cit., h. 194.

[21] Mushthafa Al- Bugha, Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi di lengkapi Takhrij Hadist, diterjem. Oleh Ibnu Sunarto, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Loc.Cit.

[22] Muhammad bin Ismail Al-Amir  Ash-Shan’ani,  Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 3,  diterjem . oleh Ali Nur Medan, Darwis dan Ghana’im, Op.Cit., h. 976.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar