Selasa, 16 Juni 2015


Foto-foto sehabis Tampil Tari Bapalas Banua





















Artikel Fiqih "Puasa"

Mega Lestari (1201291078)
A.    Arti kata puasa

Menurut bahasa, puasa berarti menahan dan meninggalkan. Seseorang yang menahan diri sesuatu maka berarti ia telah berpuasa dari sesuatu tersebut.
Sedangkan menurut syariat, puasa berarti meninggalka atau menahan diri dari beberapa hal tertentu yang dilarang oleh agama seperti makan, minum, dan bersetubuh diwaktu tertentu, yaitu muali dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Semua itu dilakukan haruslah untuk mendekatkan diri kepada allah serta dalam rangka ta’at dan melaksanakan perintahnya.
Puasa bulan ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun islam yang lima,diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, yaitu tahu kedua sesudah nabi Muhammad hijrah kemadinah. Hukumnya fardhu ‘ain atas tiap-tiap mukalaf: sebagai mana fiman Allah swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنٌوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى اَّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ
Artinya: “Hai orang-oarng yang beriman, diwabibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas oarang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa yaitu dalam beberapa hari tertetu.” (Q.S. al-Baqarah:183-84).

B.     Syarat wajib puasa:
1.      Berakal. Orang gila tidak wajib puasa.
2.      Balig (umur 15 tahun ke atas) atau ada tanda yang lain. Anak-anak tidak diwajibkan puasa. Sebagaimana saba Rasulullah SAW, yang artinya: “tiga orang terlepas dari hukum, (a) orang yang sedang tidur, (b) orang gila sampai ia sembuh, (c) anak-anak sampai ia baligh.”
3.      Mampu berpuasa. Orang yang tidak mampu, karena sudah tua atau sakit tidak diwajibkan berpuasa, sebagaimana firman Allah SWT:
مَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ يُرِيْدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. (البقرة : ١٨٥)
“barangsiapa sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185).

C.    Syarat sah puasa
Syarat sah puasa ada tiga, yaitu:
1.      Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa(kafir).
2.      Mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
3.      Suci dari darah haid(kotoran) dan nifas(darah habis melahirkan). Orang yang haid ataupun nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi keduanya wajib mengqadha puasa yang tertinggal itu secukupnya. Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya.

D.    Fardhu dan rukun puasa.
Fardu dan rukun puasa ada dua, yaitu:
1.     Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud malam puasa ialah malam yang sebelumnya, sebagaimana sabda Rasulullah:
مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.
barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum terbit fajar, maka tidak dikatakan puasa baginya.”
2.      Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

E.     Sunat-sunat berpuasa
Sunat bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan atau bukan pada bulan Ramadhan:
a.       Makan sahur. Makan sahur yang lebih baik ialah di ujung-ujung waktu sahur selama tidak menginjak waktu syak(waktu ragu-ragu terbitnya fajar).
b.      Memakai harum-haruman di waktu sahur.
c.       Bersegera berbuka puasa apabila telah yakin matahari terbenam.
d.      Berbuka dengan buah kurma
e.       Berdo’a setelah berbuka puasa
f.       Menghindari makanan syubhat
g.      Bersiwak. Disunatkan bersiwak mulai sehabis sahur sampai tergelincir matahari
h.      Menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik – jawaban jika dimaki
i.        Banyak-banyak bersedekah
j.        Banyak-banyak membaca Qur’an
k.      Banyak beribadah dan beri’tikaf.
F.     Macam-macam puasa
Puasa syar’i (yang disyari’atkan) terbagi menjadi empat macam:
1.      Puasa wajib, seperti puasa ramadhan dan qadhanya  
2.      Puasa haram, seperti puasa dua hari raya
3.      Puasa sunah, seperti puasa pasda tanggal 13, 14, dan 15 setap bulan. Hari-hari ini dikenal denagan ayyamul baidha.
4.      Puasa makruh, yaitu yang sedikit pahalanya, seperti puasa tiga hari setelah hari raya. Sebab hari-hari tersebut adalah uantuk makan dan minum.[1]

G.    Macam-macam puasa sunat
Puasa yang disunatkan itu ada 6[2], yaitu:
1.      Puasa enam hari pada bulan Syawal, sebagaimana sabda Nabi SAW dari Abu Ayyub, Rasulullah SAW bersabda,
“barangsiapa puasa pada bulan Ramadan, kemudian ia puasa pula enam hari pada bulan Syawal adalah seperti puasa sepanjang masa.” (H.R Muslim)
2.      Puasa hari ‘Arafah(tanggal 9 bulan Zulhijjah), kecuali orang yang sedang mengerjakan ibadah haji, maka puasa ini tidak disunatkan atasnya, sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya:
“puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun: satu tahun yang telah lalu, dan satu tahun yang akan datang.”
3.      Puasa hari Asyura(10 Muharram). Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, yang artinya:
“puasa hari Asyura itu menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu”
4.      Puasa bulan Sya’ban, dari Aisyah:
“saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain dalam bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat Beliau pada bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (H.R. Bukhari dan Muslim).



5.      Puasa hari senin dan kamis, dari Aisyah:
“Nabi besar Muhammad SAW memiliki puasa di hari senin dan kamis.” (H.R Tirmizi).
6.      Puasa tengah bulan(tanggal 13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qamariyah(Hijriyah). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abu Zarr. Rasulullah SAW berkata:
“wahai Abu Zarr, apabila engkau hendak berpuasa hanya tiga hari dalam satu bulan hendakla engkau puasa pada tanggal 13,14,15.” (H.R Ahmad dan Nasa’i.)[3]

H.    Waktu-waktu yang diharamkan berpuasa
1.      Puasa pada Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, dalilnya ialah hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA, yang artinya:
“Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua Hari Raya, ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri”
2.      Puasa pada hari Tasyrik, yaitu tiga hari sesudah ‘Idul Adha. Adapun dalil pengharamannya ialah hadis riwayat Muslim, dari Ka’ab Bin Malik RA bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengutus dia bersama ‘Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari Tasyrik, beliau menyerukan yang artinya:
Sesungguhnya tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman sedang hari-hari Mina adalah hari-hari makan dan minum.”



3.      Puasa pada hari yang meragukan(syak) yaitu pada tanggal 30 Sya’ban, manakala orang-orng ragu apakah hari itu masih termasuk bulan Sya’ban ataukah sudah masuk bulan Ramadhan, sementara tidak bisa dipastikan hilal sudah keliatan atau belum. Dalam keadaan demikian itu tidak boleh berpuasa, bahkan sepatutnya hari itu masih dianggap bulan Sya’ban. Adapun dalil yang mengharamkan puasa di hari itu ialah hadis yang meriwayatkan Abu Daud dan at-Tirmizi yang menyatakan hadis ini shahih, dan Amar bin Yasir RA, dari Rasulullah SAW bersabda:
“barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan orang-orang, maka sesungguhnya ia telah tidak mematuhi perintah Rasulullah SAW.”
4.      Puasa dari pertengahan sampai akhir bulan Sya’ban
Dalilnya ialah hadis riwayat Abu Daud dan at-Tirmizi yang menyatakan hadis ini shahih, dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“apabila telah sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kamu berpuasa.”[4]



I.       Hal yang membatalkan puasa
Pembatal puasa ada 6 perkaranya:
1.      Makan dan minum
Makan dan minum yang mebatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja. Apabila tidak sengaja misalnya karena lupa, maka tidak dikatakan batal puasa itu. sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
“barangsiapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan karena sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Memasukkan sesuatu kedalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dsb. Menurut sebahagian ulama sama dengan makan dan minum artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan qias, diqiaskan dengan makan dan minum. Ulama yang lain berpendapat bahwa ha itu tidak membatalkan karena tidak dapat diqiaskan kepada makan dan minum. Menurut pendapat yang kedua itu, kemasukan air sewaktu mandi tidak membatalkan puasa, begitu juga memasukkan obat melalui lubang badan selain mulut, seperti disuntik, dan sebagainya, tidak membatalkan puasa karena yang demikian tidak dinamakan makan atau minum.
2.      Muntah yang disengaja
Muntah yang disengaja ini sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam. Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah yang artinya:
“barangsiapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqadha puasanya; dan barangsiapa yang mengusahakan muntah (bersengaja) maka hendaklah ia menqadha puasanya (batal).” (H.R. Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu  Hibban).
3.      Bersetubuh
Sebagaimana firman Allah SWT:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَسُ اِلَى نِسَائِكُمْ. (البقرة : ٨٧)
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu.”
Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan Ramadhan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kafarat. Kafarat ini ada tiga tingkat: 1. Memerdekakan hamba, 2. (Kalau tidak sanggup memerdekakan hamba) puasa dua bulan berturut-turut, 3. (kalau tidak sanggup puasa) bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin, tiap-tiap orang(fakir miskin) mendapat ¾ liter. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang artinya:
“seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “celaka saya, ya Rasulullah.” Nabi besar Muhammad SAW berkata “apakah yang mencelakakan engkau?” jawab laki-laki itu, “saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari bulan Ramadhan.” Rasulullah SAW berkata, “sanggupkah engkau memerdekakan hamba?” jawab laki-laki itu, “tidak sanggup”. Rasulullah SAW berkata, “kuatkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?” jawab laki-laki itu, “tidak sanggup” kata Rasulullah SAW “adakah engkau mempunyai makanan guna memberi makan 60 orang miskin?” jawab laki-laki itu, “tidak sanggup.” kemudian laki-laki itu duduk. Maka ada orang memberi Nabi SAW sebakul besar berisi kurma. Rasulullah SAW berkata, “sedekahkanlah kurma itu.” kata laki-laki itu, “kepada siapakah saya menyedekahkannya? Apakah kepada orang yang lebih miskin dari saya? Demi Allah, tidak ada penduduk di kampung yang lebih memerlukan makanan selain dari kami seisi rumah.” Nabi Muhammad SAW tertawa sehingga terlihat gigi seri Beliau, dan Beliau berkata, “pulanglah, berikanlah kurma itu kepada keluargamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4.      Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari ‘Aisyah Ia (Nabi) berkata: “Kami disuruh oleh Nabi SAW mengqadha puasa dan tidak disuruhnya mengqadha shalat.”
5.      Gila
Jika gila itu di waktu siang hari, batallah puasanya.
6.      Keluar mani
Keluar mani ini dengan bersengaja(karena bersentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena keuar mani itu adalah puncak yang dituju orang kepada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, menghayal, dan sebagainya. Maka itu tidak dikatakan batal puasa.

J.      Hikmah Puasa
Hikmah puasa itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut:
1.      Tanda terima kasih kepada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak ternilai harganya. Firman Allah SWT:
وَاِنْ تَعُدَّوْا نِعَمَتَ اللَّهِ لاَتُحْصُوْهَا. (ابراهيم :٣٤)
“dan jika kamu menghitung nikamat Allah, tidaklah dapat kaum menghitungnya.” (Q.S Ibrahim :34)
2.      Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah Allah, dan tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.
3.      Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir miskin karena seorang yang telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu dapat mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir miskin.
4.      Guna menjaga kesehatan.[5]





DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Yogyakarta : Sinar bari Algesindo. 1998.
Shahab, Umar. FIQH IMAM JA’FAR SHADIQ. Jakarta : Penerbitan Lentera. 1999.
Sitanggal, Anshori Umar. Terjemahan al-Fiqh al-manhaji. Semarang : CV.Asy Syifa. 1987




[1] Umar shahab, FIQIH IMAM JA’FAR SHADIQ, PENERBIAN LENTERA, Jakarta, 1999, hal. 261-262
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Yogyakarta, 1998, hal. 240-242.
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Yogyakarta, 1998, hal. 240-242.
[4] Anshori Umar Sitanggal, Terjemahan al-Fiqh al-Manhaji, 1987, CV. Asy Syifa, Semarang, hal. 123-125.
[5] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Yogyakarta, 1998, hal.243-244.